Menguji Loyalitas

Seorang guru besar berdialog interaktif dengan para mahasiswa. Seraya memulai dialognya,

“Andai kalian hidup di zaman Fira’un, kira-kira kalian jadi pengikut Fir’aun atau Nabi Musa ya ?”

Serentak mahasiswa menjawab “Nabi Musaaaaa dong, prof”.

Prof: “Yakiiin kalian ?”

Suara kompak mereka: Yakiiiiiin !!!

Profesor pun selanjutnya mengingatkan catatan sejarah yang diajarkan kepada mahasiswa.

“Ingatkan kalian, bahwa yang membangun Kota Mesir adalah Fir’aun?. Fir’aunlah yang membangun infrastruktur, fasilitas publik fenomenal mendunia misalnya saja Piramida. Siapa orang terkaya saat itu? Fir’aun kan?!!”.

Fir’aun sang jawara, karena pengikutnya mayoritas dan mendominasi Mesir, maka dia mampu memberikan perlindungan, bahkan dengan mudah mewujudkan program jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan. Fir’aun pun punya bala tentara banyak dan kuat.

Karena kekuasaannya Fir’aun yang menyediakan pangan rakyat, bahkan intertaimen difasilitasi Fir’aun. Tak ada kebutuhan rakyat kecuali sudah dicover dengan kekayaan dan kekuasaannya di negeri Mesir.

Sementara Nabi Musa, siapa dia?

Hanya seorang penggembala kambing. Bicara saja tidak fasih alias cadel (akibat pernah memakan bara api di waktu bayi). Nabi Musa dikisahkan hanya memiliki sebatang tongkat tua. Jangankan kekuasaan, kewenangan saja sangat terbatas di area privasi dan segelintir pengikutnya dari kalangan rakyat jelata, mungkin kalau ada yg memadankan dg kandungan sebuah lagu “Mengubah Buih Jadi Permadani” kali ya…..

Dengan Perbandingan ini, apakah kalian masih yakin mau ikut nabi Musa, atau ganti ide dan sikap, ikut Fir’aun saja?.

Hhmm, para mahasiswa terdiam sejenak, dengan menghela nafas panjang mereka tersipu dan saling mencuri pandangan satu sama lainnya, dalam hati dan pikiran mereka “hanya 2 opsi Fir’aun dan nabi Musa.

Sang profesor kembali mengajak mahasiswanya merenung, “Profesi Nabi Musa hanya sebagai penggembala kambing, tidak lebih baik nasibnya dari tokoh tokoh di Mesir saat itu; Sekonyong konyong hendak mengajak kalian menyeberangi lautan, tanpa memakai sampan, tanpa perahu, tanpa kapal. Apakah yakin kalian mau ikut Nabi Musa?” Tanya sang profesor.

Mahasiswa’mahasiswa merunduk malu, terdiam seribu bahasa.

Pak profesor kembali menyapa pikiran mahasiswa-mahasiswanya, “nampaknya, kondisinya nggk beda zaman sekarang dengan zaman Fir’aun dulu ya. Saat ini tidak sedikit orang tergila-gila pada harta, wanita, tahta, teracuni dengan pangkat, jabatan, serta terpedaya dengan pujian dan rayuan.

Sepertinya, Fir’aun akan tetap ada sampai akhir zaman, cuma wajah, bentuk, dan namanya yang berubah-ubah sesuai kebutuhan zamannya. Tapi esensinya sama, sebab sejarah akan berulang dan berputar dipergilirkan.

Dulu Fir’aun dapat dikalahkan Nabi Musa AS berkat kekuasaan dan kehendak Allah SWT, Tuhan YME. Kekalahan Fir’aun dipertontonkan dunia, meski dihadapkan dengan sesosok Musa yang tidak pernah diperhitungkan Fir’aun dengan kosombongan dan kezholimannya.

Masihkah Kita Ragu Untuk Tetap Loyal Kepada Kebenaran dan Kejujuran dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Tinggalkan Balasan

Your email address will not be published.